Opini,
Ringkasan Permasalahan Kebutuhan akan transportasi di perairan (laut, sungai dan danau) khususnya untuk penumpang masih sangat tinggi apalagi saat perayaan hari besar keagamaan dan liburan akhir tahun.
Fakta bahwa dari seluruh penjuru NKRI kejadian kecelakaan transportasi diperairan terus saja terjadi pada bulan Juni 2018 saja di wilayah sumatera telah lebih dari 200 (dua ratus) anak bangsa telah mati sia sia di perairan akibat kecelakaan kapal, dan oleh karenanya beberapa orang operator dan regulator telah pula ditetapkan oleh Aparat Penegak Hukum sebagai tersangka.
Merujuk pemberitaan pada media cetak nasional maupun media tv nasional ada pernyataan Pejabat Pemerintahan yang memenuhi unsur kekeliruan yang dampaknya sangat serius terhadap penegakan hukum sehingga dipandang perlu untuk diluruskan agar masyarakat umum dan Aparat Penegak Hukum dapat memahami dan mengetahui.
Tindak lanjut proses hukum diharapkan berbasis pada ketentuan hukum bukan atas pernyataan yang mengandung kekeliruan, penetapan siapakah yg paling bertanggungjawab secara hukum atas tindak pidana yang terjadi tidak boleh keliru dan salah karena berakibat pada penzaliman atas diri pribadi orang tersebut.
Sebagaimana adagium yang sangat terkenal dalam hukum pidana yaitu: “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah” adagium ini berarti bahwa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi hukuman maka runtuhlah hukum itu.
Menghukum orang yang tidak bersalah adalah suatu kejahatan paling dikutuk dan tidak dapat dibenarkan sama sekali.
BAIKLAH mari kita kembali ke pokok permasalahannya, saat ini banyak sekali masyarakat belum dapat membedakan tentang siapakah penyelenggara pelabuhan dan siapakah penyelenggara keselamatan pelayaran di pelabuhan.
Untuk itu mari kita ulas agar dapat lebih memahaminya. Penyelenggara Pelabuhan berdasarkan pada UU RI Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran mengatur bahwa penyelenggara pelabuhan adalah kegiatan pemerintahan yang mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan dan penyelenggara pelabuhan ini dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
Sebagaimana prakteknya di Danau Toba, jika Pelabuhan Danau tersebut adalah milik Pemerintah Kabupaten maka penyelenggara pelabuhan adalah Pemerintah Kabupaten Samosir.
Dalam hal ini instansi teknis atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) nya jika pelabuhan tersebut mempunyai prospek komersial yang baik maka dalam pengusahaannya dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP) dengan berkonsesi dengan pemilik pelabuhan (Pemerintah atau Pemerintah daerah).
Selanjutnya dalam pengoperasian pelabuhan tentulah ada kapal yang menggunakannya, dan untuk pengawasan keselamatan kapal tersebut undang-undangpun telah mengamanatkan bahwa di pelabuhan tersebut wajib ada kegiatan pemerintahan untuk melaksanakan fungsi Keselamatan Pelayaran yang dilaksanakan oleh Syahbandar, yang notabene Syahbandar adalah aparatur pemerintah pusat yang memiliki kompetensi sebagai syahbandar dan diangkat oleh Menteri (Pasal 207, 208 dan 209 UU RI No. 17 Tahun 2008).
Keberadaan Syahbandar di pelabuhan ini berlaku untuk seluruh pelabuhan, sehingga jika diuraikan dapat kita rincikan sebagai berikut pada pelabuhan berdasarkan kepemilikan contohnya dipelabuhan milik Pemerintah Pusat ya Syahbandarnya dari Pemerintah Pusat, Pelabuhan milik Pemda Syahbandarnya dari Pemerintah Pusat, pelabuhan milik BUMN/Swasta ya Syahbandarnya juga dari Pemerintah Pusat.
Begitu juga jika kita tinjau pelabuhan menurut lokasi dan fungsinya, yaitu di pelabuhan laut ya Syahbandarnya dari Pemerintah Pusat, pelabuhan sungai ya Syahbandarnya dari Pemerintah Pusat, di pelabuhan danau ya Syahbandarnya dari Pemerintah Pusat.
Begitu juga di pelabuhan penyeberangan ya Syahbandarnya juga dari Pemerintah Pusat, tugas dan wewenang Syahbandar melekat pada kewenangan Pemerintah Pusat dan tidak didelegasikan, sehingganya jika dijumpai adanya pelaksana tugas kesyahbandaran bukan dari aparatur pemerintah pusat maka seluruh kebijakan dan dokumen administrasi yang diterbitkannya adalah “illegal” (Pasal 9 UU RI No. 30/2014), disamping itu juga bila ditemui adanya aktifitas angkutan di perairan (laut, sungai dan danau) tanpa diawasi kelaiklautan kapalnya dan tanpa surat persetujuan berlayar akibat tidak adanya petugas syahbandar maka itu adalah “kelalaian syahbandar” dan wajib “bertanggung jawab dihadapan hukum” jika kelalaiannya mengakibatkan hilangnya nyawa.
Pemerintah Pusat selaku pemegang amanah rakyat melaksanakan “kewenangan tunggal dalam Penyelenggaran Keselamatan dan Keamanan Pelayaran”, wajib bertanggungjawab karena tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang memberikan ruang kepada Pemerintah Daerah maupun Swasta untuk melaksanakan fungsi penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran.
Dengan uraian tersebut diatas jika kita merunut kembali peristiwa kecelakaan kapal di Danau Toba dimana yang menjadi “tersangka” karena diduga melakukan kelalaian melaksanakan fungsi pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran adalah aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir, maka sangkaan tersebut sungguh sangat tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Dimana terdapat bukti bahwa Direktur Jenderal Perhubungan Laut telah memerintahkan melalui Surat Edaran Nomor UM.003/58/9/DJPL-17 tanggal 7 Agustus 2017 (insert) kepada seluruh kepala UPT Ditjen Perhubungan Laut selaku pelaksana syahbandar di seluruh NKRI untuk menjalankan kewenangannya melaksanakan fungsi pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran di sungai dan danau sebagaimana amanah UU RI Nomor 23/2014 tanpa boleh ada kekosongan, tetapi nyatanya di Danau Toba terjadi kekosongan pelayanan Syahbandar.
Untuk itu siapakah yang bersalah dan siapakah yang harus bertanggungjawab, kita hanya dapat bertanya-tanya dan penyidiklah yang nanti menjawabnya setelah proses penyidikan dan penelaahan ketentuan dilakukan dengan adil dan bermartabat.
penegakkan hukum bukan hanya sekedar mencari kambing hitam, tetapi wajib menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Jangan menginjak semut tak bersalah jika tak berani menginjak gajah yang bersalah”.
Kita berkeyakinan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yang Aparat Penegak Hukumnya paham dan tahu bahwa dalam menegakkan hukum tidak hanya bertanggung jawab kepada Negara tetapi akan bertanggungjawab dihadapan Tuhan Yang Maha Esa nantinya.
Pengaturan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan, dan
Pengusahaan kegiatan kepelabuhanan;
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Pelabuhan
UU RI No.17/2008
Pasal 69, Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 82.
Keselamatan dan keamanan pelayaran; dan/atau
Pemerintah Pusat
UU RI No. 17/2008
Pasal 80, Pasal 207
UU RI No. 23/2014
Lampiran I, Huruf O Tabel Sub Urusan Pelayaran Kewenangan Pemerintah Pusat huruf s
Kepabeanan;
Pemerintah Pusat
UU RI No.17/2008
Pasal 80
UU RI Nomor 23/2014 termasuk Urusan Absolut
Keimigrasian;
Pemerintah Pusat
UU RI No.17/2008
Pasal 80
UU RI Nomor 23/2014 termasuk Urusan Absolut
Kekarantinaan.
Pemerintah Pusat
UU RI No. 23/2014
Lampiran I, Huruf AA Tabel Sub Urusan Karantina Pertanian Kewenangan Pemerintah Pusat
Penulis,
Nama: Azis Kasim Djou
Tempat Tanggal Lahir: Kupang, 19 November 1979
Alamat : Jl. Raja Haji Fisabilillah No. 10-11 Batu 5 Atas Kelurahan Batu IX, Kecamatan Tanjung Pinang Timur Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau, Kode Pos 29125
Telpon/hp : 0771-25083 / 0812-61718321
Jabatan : Koordinator Ikatan Alumni LLASDP (IKASDAP) Wilayah Provinsi Kepulauan Riau