Delta Kepri – Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Nusa Kabupaten Natuna Hendro, terkejut mendengar laporan terkait sumber mata air yang mereka kelola disebut ilegal.
Informasi tersebut diperolehnya melalui siaran pemberitan Batam Pos, terbit Kamis, 15 Februari 2018 dengan judul, “Air Yang Diambil PDAM Disebut Ilegal”.
“Kalau air ini, dibilang ilegal saya kurang pas, karena PDAM punya Pemerintah Daerah, hal ini berdiri berdasarkan Peraturan Daerah (Perda), yang dibuat oleh Pemerintah Daerah,“ pungkas Hendro, Senin (5/3) di ruang kerjanya.
Pimpinan perusahaan pelat merah itu, sedikit bingung dan mengaku kecewa atas pernyataan yang disampaikan oleh dinas terkait kepada salah satu media masa harian terkait sumber air yang disebut ilegal.
“Aneh juga, kenapa mereka sebut air ini ilegal, padahal kawasan hutan dibawah kewenangan Pemerintah Daerah. Kalau mereka sudah tahu ilegal kenapa tidak ikut membantu PDAM. Kenapa Dinas Kehutanan, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH), sekarang berubah menjadi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) malah membiarkan kami berjalan sendiri. Selama ini kami sudah berusaha menyelesaikan pengurusan administrasi tentang ini, tetapi ada saja kendalanya. Seharusnya dinas terkait, tidak membiarkan kami mencarinya sendiri,“ ujarnya.
Hendro menjelaskan, PDAM Tirta Nusa berdiri pada tahun 2004, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2004. Perda Pendirian tersebut dikelurkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna.
”Memang sejak berdiri tahun 2004 PDAM cuma ada Perda Pendirian, dan belum memiliki izin-izin lainnya. Sekitar tahun 2006 – 2007 kami mulai menjajaki pembuatan izin. Pada tahun itu, kami menemui DLH Kabupaten Natuna, mereka meminta agar kami mengurus izin Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL). Kami kemudian menanyakan persyaratannya seperti apa. PDAM katanya harus membuat kajian, tetapi kami tidak memiliki anggaran untuk mendatangkan konsultan, karena biayanya miliaran. Karena tidak ada anggaran, kami kembali mendatangi DLH, dan meminta agar dianggarkan kepada Pemerintah Daerah, sayangnya tidak terealisasi, “ jelasnya.
Kemudian pada tahun 2014, lanjut Hendro, pihaknya mendapat informasi untuk pemanfaatan sumber mata air, PDAM cukup mengurus izin pinjam pakai lokasi kawasan hutan.
“Dari informasi itu, saya langsung menyurati Dinas Kehutanan Kabupaten Natuna, saat itu, saya bertemu dengan Pak Tri Susilo Hadi. Jadi upaya pengurusan saat itu, sudah sampai pada rencana penentuan koordinat survei lokasi. Terakhir kami disuruh menunggu, katanya nanti ada orang dari Dinas Kehutanan yang datang ke PDAM, dan kita sama-sama turun ke lokasi, sayangnya janji tinggal janji, yang ditunggu tak kinjung datang,“ imbuhnya.
Kemudian lanjut Hendro, pada tahun 2017 dalam sosialisasi Dinas Kehutan Provinsi Kepri mengatakan perizinan-perizinan dimaksud cukup melalui pelayanan satu pintu di Pemerintah Provinsi.
“Kami kemudian langsung mengurusnya ke DLH Provinsi, setelah dikaji bolak balik ternyata perizinannya harus melewati pelayanan terpadu satu pintu dan saya langsung menyurati Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kepri. Mereka menjawab betul disini tempatnya, dan mereka yang akan mengeluarkan izin kalau titik lokasinya masih dibawah 5 hekter. Jadi mereka minta kami melengkapi dokumen, rencananya tanggal 20 ini saya akan berangkat kesana, koordinasi sekaligus melengkapi dokumen yang kurang. Nanti kita tunggu seperti apa pula kelanjutannya,“ terangnya.
Dalam proses pengurusan berjalan, Hendro menyebutkan baru-baru ini pihaknya menerima informasi bahwa pengelolaan kawasan hutan lindung di Natuna sudah diserahkan kepada kelompok masyarakat.
“Sekarang muncul lagi, pengelola baru katanya dikawasan sumber air kita, sudah diserahkan pengelolaannya kepada kelompok masyarakat. Tentu menjadi tanda tanya, artinya PDAM harus bagaimana. Apakah kami harus mengurus izin ini ke kelompok masyarakat itu, atau bagaimana. Kebetulan tadi, ketua kelompok masyarakat itu, datang kesini menyampaikan maksud tujuannya, dan menyerahkan sebuah berkas yang dimilikinya terkait kawasan hutan,“ sebutnya.
Sebundel berkas yang diterima, kata Hendro, diantaranya Surat Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
“SK itu ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Februari 2017, Ketua Kelompoknya Zaharuddin, isinya tentang pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan kepada Gapoktan Lappan seluas lebih kurang 2.520 hektar pada kawasan hutan lindung di Desa Ceruk Kecamatan Bunguran Timur Laut Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau,“ ucapnya.
Selain SK dari kementerian, Gapoktan Lappan juga menyerahkan sebuah surat yang ditujukan kepada Direktur PDAM Tirta Nusa, perihal koordinasi dan kerjasama.
“Jadi isinya mereka meminta kerjasama terkait imtek sumber air baku yang kami kelola selama ini, katanya berada dikawasan kerja dan izin Kelompok Hutan Kemasyarakatan Lappan. Mereka minta koordinasi kerjasama untuk melaksanakan hak dan kewajiban mereka selaku pemegang izin. Dalam rangka melaksanakan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.672/MenLhk/PSKL/PKPS /PSL.0/2/2017 tanggal 23 Februari 2017, tentang pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan kepada Gapoktan Lappan, “ tukasnya.
Terkait laporan itu, Hendro memastikan pihaknya akan menemui Komisi III DPRD Natuna guna mencari solusi.
“Mungkin nanti kami akan ke DPRD meminta agar dibahas, secara bersama, kemana sebenarnya kami harus mengurus izin ini. Apakah ke Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi atau kepada kelompok masyarakat ini. Sementara, dari DLH mengatakan kami sudah harus memiliki AMDAL dan meminta agar kami menemui Dinas Kehutanan. Intinya, kami dari PDAM belum bisa membuat kesimpulan terkait permintaan Gapoktan Lappan,“ tutupnya.
Semetara itu, Sekretaris Badan Pengawas PDAM Tirta Nusa Kabupaten Natuna Fadillah, menyayangkan pernyataan yang disampaikan oleh Kepala UPT Kesatuan Pengelola Hutan Produksi Unit V Natuna Tri Susilo Hadi. Menurut Fadillah, penyebutan kata ilegal terhadap sumber air yang dikelola PDAM sangat tidak pantas.
“Jadi dengan ada pemberitaan yang dimuat sepihak oleh Batam Pos tentang air PDAM ilegal itu, tentu membuat pemikiran masyarakat menjadi resah. Saya sebagai Badan Pengawas PDAM, mengambil sikap, bahwa ini pemberitaan yang sangat merasahkan,“ pungkasnya.
Sebagai badan pengawas, Fadillah menegaskan jika air yang selama ini mengalir kesetiap rumah warga disebut ilegal, sebaiknya PDAM dibekukan saja. Agar PDAM tidak terbentur hukum dan memperoleh uang haram.
“Mengapa demikian, karena, apabila sumber air itu ilegal, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak kehutanan. Maka PDAM mengalirkan air ke rumah-rumah masyarakat juga ilegal, uang yang diterima PDAM dari masyarakat atas jasa pelayanan air juga ilegal. Kemudian uang yang kami gunakan untuk operasional, peningkatan kinerja, dan membayar gaji karyawan PDAM juga ilegal. Apabila pihak terkait merasa yakin, bahwa sumber air ini adalah illegal, termasuk Wakil dan Anggota DPRD yang memberi pernyataan di Batam Pos tersebut ilegal. Apakah boleh kami memberi solusi, baik kepada DPRD, maupun Dinas Kehutanan, atau Pemerintah Daerah Natuna, agar persoalan ilegal ini tidak sampai berlanjut kepihak hukum, untuk sementara waktu PDAM dibekukan dulu. Mulai dari sekarang kita stop pelayanan air untuk masyarakat Natuna, sampai air ini benar-benar legal,“ tegasnya.
Seharusnya, kata Fadillah, dinas terkait tidak memuat pernyataan ilegal dalam pemberiataan. Akan lebih baik jika dinas terkait membicarakannya kepada PDAM, sehinnga pernyataan ilegal tidak mucul ketengah masyarakat.
“PDAM ini perpanjangan tangan pemerintah dalam memberi pelayanan air kepada masyarakat. Kemudian yang membuat pernyataan ilegal itu, juga bagian daripada pemerintah. Kalau ada perbedaan pendapat, dan kekurangan administrasi sebaiknya didudukan dulu, jangan langsung di expose ke masyarakat, yang akhirnya membuat masyarakat jadi resah. Selama ini PDAM sudah berusaha mengurusnya, cuma keterbatasan anggaran dan simpang siurnya informasi pengurusan izin ini membuat prosesnya menjadi panjang. Jadi jangan terlalu cepat memponis air itu ilegal,“ terangnya. (Anizar)