Opini

Tsunami Aceh, Covid-19 dan Iman Seorang Ibu di Tanjungpinang

×

Tsunami Aceh, Covid-19 dan Iman Seorang Ibu di Tanjungpinang

Sebarkan artikel ini

DELTAKEPRI.CO.ID, TANJUNGPINANG – Social distancing atau pembatasan gerak yang dicanangkan oleh pemerintah berbenturan dengan kebutuhan ekonomi serta ruang bagi masyarakat kota, khususnya bagi masyarakat kelas ekonomi lemah.

Social distancing mungkin bukan problem berarti bagi masyarakat kelas menengah dan atas secara ekonomi. Mereka yang memiliki rumah luas dan bertembok tinggi mungkin bisa menutup rumahnya setelah terlebih dulu menyetok makanan untuk jangka waktu tertentu.

Tetapi bagaimana dengan masyarakat kelas ekonomi bawah? Apakah mereka bisa bertahan bila dilarang keluar rumah? Namun penulis hanya ingin fokus pada penutupan tempat ibadah lainnya, seperti masjid.

Diantara covid-19 dan mesjid yang ditutup, tampak seorang ibu sedang melaksanakan ibadahnya dari luar ruangan Mesjid Agung Al Hikmah Kota Tanjungpinang. Sangat miris bahwa ibu itu telah menunjukan kepada kita semua, bahwa Tuhan tidak pernah memerintahkan rumah-Nya ditutup saat para hambanya menghadapi kebingungan, ketidakpastian, dan ketakutan yang telah mengerogoti iman manusia disaat mewabahnya virus corona ini.

Namun, apabila kita masih menginggat jelas saat tsunami memporak-porandakan Provinsi Aceh 26 Desember 2004 silam, di Kawasan pesisir pantai Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, rata dengan tanah.

Satu-satunya yang tersisa adalah Masjid Baiturrahim, padahal letaknya hanya terpaut sekitar 300 meter dari bibir pantai. Empat dusun di wilayah itu hilang ditelan gelombang, dengan 6 ribu penduduk di dalam dan sekitarnya menjadi korban seketika.

Siapa yang menyangka bahwa tragedi akan merampas nyawa manusia, siapa yang menyangka bahwa Masjid tersebut masih bisa berdiri tegak, sementara bangunan di sekitarnya menjadi puing-puingan runtuhan bangunan tak tersisa.

Dari pelajaran itu, seharusnya masjid dan tempat ibadah lainnya maupun semua pihak harus bekerja keras seperti para tenaga medis yang terus berjibaku dengan waktu untuk mengatasi keadaan.

Masjid dan tempat ibadah lain harus di buka, tidak ditutup agar turut andil membantu mengatasi masalah dan membantu menenteramkan masyarakat, karena kepanikan hanya akan memperburuk keadaan, dan bukan menutup tempat ibadah.

Masjid juga harus turut menyemai rasa aman dalam diri masyarakat tanpa menimbulkan kekhawatiran bagi yang lainnya, tanpa harus dituduh sebagai tempat penularan virus yang mengancam ini.

Masjid harus tetap memfasilitasi para pendoa yang ingin menenangkan diri bersimpuh di hadapan Tuhan. Bahkan bila pun selama ini mereka bukan orang yang rajin ke masjid.

Mungkin salah satu cara bisa menyediakan fasilitas sterilisasi jamaah seperti hand sanitizer dan menganjurkan membawa sajadah dari rumah. Menjaga kerapatan dan kontak fisik jamaahnya, serta menjamin kesterilan bangunan masjid, baik dinding, lantai maupun lainnya.

Kemudian secara rutin melakukan penyemprotan disinfektan sebagaimana anjuran medis. Masjid maupun tempat ibadah lainnya harus berperan aktif dalam menyebarkan informasi bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Seperti mengulang-ulang anjuran menjaga kesehatan dan mengurangi aktivitas di luaran yang tidak perlu.

Bahkan bila perlu, masjid maupun tempat ibadah lainnya menjadi garda terdepan dalam melakukan tindakan gotong-royong demi menjaga keselamatan sosial warganya, dan  harus terlibat aktif seperti memberikan bantuan bagi jamaah dan warga yang sangat membutuhkan dan saling memupuk rasa senasib sepenanggungan masyarakat dalam menghadapi badai wabah corona ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *