Jejak pemangku kepentingan tumbuh subur. Sejarah masa silam tentang mereka yang telah berjuang merebut kemerdekaan binasa di makanmoral yang mendadak berubah menjadi kebendaan. Nilai budaya dan sejarah menjadi sangat murah. Disaat musim kampanye tiba, para petualang yang berambisi ingin menjadi orang nomor satu di kampung halamanku, sibuk obral janji. Harapan palsu bagaikan mahkota mereka persembahkan kepada rakyat, guna memperoleh tahta. Rakyat yang terbuai oleh “ tipu dan muslihat busuk “ hari ini tidak lagi mampu mengenal siapa pemimpinnya. Meraka terbuai hanyut, oleh sihir kertas tebal yang disebut uang.
Dalam risau hidup aku hanya bisa berharap agar tuhan mendatangkan sosok pemimpin bijaksana. Aku ingin dia berlari kencang menerjang ombak dan angkuhnya badai. Mampu melahirkan damai, berani melawan resah. Membasmi risau, membunuh keangkuhan serta membumi hangus kekuasaan sekelompok. Agar tidak ada lagi lanun yang berani mengusik, dan mencuri hasil kekayaan alam kampung halamanku. Agar tidak ada lagi penguasa yang berani membeli harga diri kaum kusam. Aku ingin sejarah, dan budaya kampung halamanku di kembalikan.
Tetapi sudahlah, bukannya mengapa, dan bukan pula siapa-siapa….!!!. Bukan menyindir, tapi menggelitik. Bukan marah tapi iba. Bukan benci tapi peduli. Bukan mengatur tapi menasehati. Bukan dengki tapi prihatin. Bukan kesal tapi risau. Meluah perasaan itu wajar. Menyampaikan pesan sudah menjadi pekerjaanku. Ingin marah silakan. Tidak terima iya sudah. Jangan jadikan kampungku buih permainan, dan jangan bohongi aku yang tidak berdaya.
Aku merasa bagaikan manusia lanang, yang berlari kencang mengejar matahari. Tidak pernah mahu berhenti menari. Sebelum hitam hati benar-benar menjadi arang. Padahal mereka tahu dunia ibaratkan perempuan cantik yang menjadi rebutan. Seperti buih di tengah lautan kecang gelombang harapan. Sudah saatnya berhenti mengejar ketidak pastian. Bahkan mungkin akan lebih baik bila tetap mengarahkan langkah ke arah penantian. Karena ada beribu harapan penghuni kampung terabaikan. Menunggu pulang membawa damai. Sampai hari ini belum terjawab.
Semerbak terlelap, bagaikan terkena sihir perempuan cantik. Mengejar waktu yang tersisa hanya tinggal sedikit. Untuk dapat mempersembahkan mahkota kebanggaan hidup. Sudah saatnya bertolak dari dermaga cinta palsu yang selama ini di sandarkan. Karena perempuan cantik yang menjadi perumpaan hidup itu, adalah petaka. Sekarang belayarlah menuju samudera impian dan harapan. Meskipun dengan perahu kecil keterasingan. Karena jika di teruskan, pasti akan sampai ke negeri harapan. Seperti yang ada dalam doa penghuni kampung halaman. Menjadi azam di awal pengembaraan dulu.
Terkadang bersama lusuh dunia. Sebagai rakyat kecil, aku merasa seperti tidak lagi sanggup menahan beban amarah. Aku ingin tarian perempuan mungil bertelanjang paha dan bertelanjang dada enyah dari lamunan. Seperti malam yang gelap. Berharap dapat menghitamkan hatiku dari kebugilan cinta seorang perempuan. Tersebab mereka bagaikan racun dan badai di musim utara. Menerjang angkuh hingga ke lubuk hati. Membuat berkecai harga diriku sebagai lelaki sejati.
Sebelum sampai di persempadan hidup. Pada dunia yang cuma sekejab. Aku kembali bercerita pada malam. Ingin cepat-cepat agar mereka di sadarkan. Agar tidak lagi tergoda oleh sandiwara cinta di pentas dusta. Karena kelak akan berujung dusta melahirkan duka. Jika boleh meminta, tentu aku ingin kembali keabjad kodrat siapa diriku. Kembali ke alam sebelum aku mengenal perempuan-perempuan mungil itu. Karena cinta perempuan itu adalah semu. Atau kembali ketujuan hidupku. Agar tetap dapat berjumpa damai. Tersebab aku masih ingin tetap terus berlari. Mencari tuah diri yang sudah lama terbangkalai. Juga arti sebagai seorang hamba pengabdi. Betapa inginnya aku berjumpa damai.
Wahai sang pemangku kepentingan negeri. Melalui pesan ini aku titipkan doa. Pada sang penguasa hati pencipta jagad bumi. Ampunilah dosa-dosa mereka ya Allah. Dari kelalaian dan kelupaan oleh kemegahan dunia yang kian menggoda. Yaaaa robbana, matikanlah mereka dalam keadaan beriman, dan sempurna. Jangan dalam keadaan lalai dan durhaka. Aku berlindung dari godaan syaitan terkutuk. Bersembunyi disebalik kebugilan perempuan cantik yang bertelanjang paha dan bertelanjang dada.
Tersebab hari ini kemabali bergelinyau dalam ingatanku. Tempo waktu tiga puluh lima tahun silam. Saat usiaku baru hanya bisa mengenal kelereng dan ketapel untuk dijadikan permainan. Ratapan mataku saat itu, masih terbentur pepohonan rindang yang tumbuh subur mengelilingi halaman rumah. Aku belum bisa membaca juga berhitung. Aku belum dapat menulis surat buat kekasihku yang tinggalnya jauh di seberang lautan. Aku bahkan tidak pernah berfikir tentang nasib negeri ini kedepan. Aku hanya tahu memulot burung, dan mengael ikan.
Saat usiaku tujuh tahun sembilan bulan. Sejalan dengan terjadinya peristiwa pengungsian Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Juga perang dingin benua Amerika. Disaat itu lah aku masuk ke sekolah dasar yang ibu gurunya centil-centil. Mereka suka berpakaian ketat kalau di perhatikan terlihat belahan bentuknya sama seperti ketapel kesayanganku. Aku mulai merasa takut, aku takut ketika berhadapan dengan seorang guru di tangannya selalu memagang rotan. Aku juga mulai tertekan oleh banyak aturan. Aku di paksa membaca, menulis dan berhitung ralaban.
Walau tanpa arloji, sinar matahari sudah cukup untuk aku jadikan pedomen buat memulai perjalanan. Melalui jalan setapak, lewati lembah dan bukit berbatu terjal. Tanpa alas kaki aku tetap sampai di sekolah. Aku selalu sampai lebih awal. Bahkan lebih duluan dari pada teman-teman bahkan guruku. Tapi tak apa, tidak sedikitpun terlintas di hati. Karena berkat perjuangan guruku yang centi-centil, dan menakutkan itu. Akhirnya aku bisa menulis surat buat sang kekasih.
Diseperempat abat kisah hidup. Aku mulai mengingat mimpi silam. Aku terkenang rotan di tangan dan pakaian ketat tembus padang. Aku bermimpi kembali melewati belukar, lembah dan tebing terjal, jalan menuju bangku sekolah. Aku terbangun dan menemukan risau hebat. Aku berbisik dan bertanya. Mengapa kampung halamanku, tidak lagi indah seperti dulu. Hari ini, aku milihat pohon rindang berubah menjadi kepingan yang tersusun rapi di dadalam gudang rumah kaum penguasa. Lembah berbukit dan tebing rata menyatu tanah. Bebatuan terjal indah mengagumkan binasa tergiling alat berat kaum yang mungkin hanya memikirkan isi kantong pribadinya.
Saat ini, kampung halaman tempat dimana darah rahim emak ku tumpah disaat melahirkan aku berubah menjadi ladang sumber penghasilan para penguasa. Celakanya mereka tidak ada yang jujur. Mereka bagaikan sudah kehilangan mata hati sehingga sulit melihat. Alhasil pembangunan penopang berkembangnya ekonomi penghuni kampung hanya terlihat satu dua. Dalam penglihatan ku pembangunan itu, hanya berdasarkan keinginan untuk menuai hajat kaum pemangku kepentingan. Mereka yang haus kekuasaan telah menciptakan pembangunan hanya untuk kepentingan sekelompok orang. Pembangunan itu, telah mengurangi rasa kebersamaan dan melahirkan ketidak adilan. Karena yang di bangun bukannya kebutuhan, dan kepentingan penghuni kampung.
Jejak pemangku kepentingan telah tumbuh dengan subur. Sejarah masa silam tentang mereka yang telah berjuang merebut kemerdekaan binasa tertibun moral yang mendadak berubah menjadi kebendaan. Nilai budaya dan sejarah hari ini menjadi sangat murah. Disaat musim kampanye tiba, para petualang yang berambisi ingin menjadi orang nomor satu di kampung halamanku, mulai obral janji. Harapan palsu bagaikan mahkota mereka persembahkan kepada rakyat untuk memperoleh tahta. Rakyat yang terbuai oleh tipu dan muslihat busuk hari ini tidak dapat lagi mengenal siapa pemimpinnya. Meraka terbuai hanyut oleh sihir kertas tebal yang disebut nukudun pulus.
Dalam risau hidup aku hanya bisa berharap agar tuhan mendatangkan sosok pemimpin bijaksana. Aku ingin dia berlari kencang menerjang ombak dan angkuhnya badai. Melahirkan damai, dan berani berjuang melawan resah. Membasmi risau, membunuh keangkuhan dan membumi hangus kekuasaan sekelompok. Agar tidak ada lagi lanun yang berani mencuri hasil kekayaan alam kampung halamanku. Agar tidak ada lagi penguasa yang berani membeli harga diri kaum kusam. Aku ingin sejarah dan budaya kampung halamanku segera di kembalikan.
Hari ini aku kembali bermimpi. Dalam risau mimpi aku melihat kampung tua bagaikan mutiara di atas gelombang. Dia ibaratkan emas 24 karat. Meski sudah tua tetapi tetap saja bagaikan gadis perawan cantik. Semua orang ingin memiliki, semua orang ingin membali. Sayangnya tidak semua orang bisa mengerti tentang nasib kampung. Membangun wajah kampung halam yang sudah elok rasanya tidaklah terlalu sulit. Cukup di rawat, di dandan dan di poles sedikit saja. Ibarat menghilangkan jerawat yang tumbuh di wajah gadis perawan cantik. Tinggal membeli obat pembasuh muka dan penghilang jerawat.
Sayangnya sampai hari ini kampung halamanku yang konon menurut cerita banyak orang terkenal kaya akan hasil buminya. Masih terlihat biasa-biasa saja. Sekarang usiaku sudah terbilang genap 35 tahun. Dari belusukan hutan tebal bukit terjal aku mulai berjalan hingga sampai ke Ibukota. Setiap langkah aku meratap, dan mendengar lalu mencatat. Aku berjalan, bertanya dan terus mencari tahu tentang mengapa kampung halamanku tidak seperti yang di bayangkan. Didalam buku tebal yang aku beli dengan uang dari hasil menjual ketam beberapa tahun silam itu, hari ini sudah hampir penuh tertulis intermezo.
Didalam buku yang aku sebut risau mimpi itu, telah tercatat di mana jumlah Anggaran Pendapat Belanja Daerah (APBD) kampung halamanku pada setiap tahunnya di katakan oleh banyak orang sangatlah menjanjikan. Meski Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbilang kecil tetapi jumlah Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (DBH Migas) yang di terima oleh kampungku ternyata lumayan besar. Tetapi kondisi kampung halamanku bagaikan daerah miskin yang tidak memiliki cukup uang untuk berdandan.
Lapangan pekerjaan yang siap mengurangi jumlah angka pengangguran boleh dikatakan belum ada. Jalan lingkar hampir di setiap kecamatan belum juga terbangun. Jalan raya dan jembatan penghubung dari kecamatan ke ibukota baru setengah jadi. Pelabuhan bongkar muat barang kebutuhan pokok yang bisa di sandari kapal besar juga belum punya. Alam wisata yang indah juga belum terkelola. Listrik hidup berganti-ganti, minyak subsidi dijual pula sesuka hati. Air bersih binasa di telan bumi. Jadi apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa kondisi kampung halamanku seperti ini.
Kemarin ada opini, orang bilang di kampungku yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin melarat. Semalam ada yang menyebut, uang habis bukan karena membangun negeri, tetapi karena di bagi-bagi. Kalau ingin dapat bagian harus pandai-pandailah bawa diri. Tadi pagi saat duduk di warung kopi ada yang bercerita, di kampung ini pemimpinnya lupa diri, rakyat tidak lagi dipeduli. Alamak….!!! aku jadi bingung sendiri. Akhirnya aku ceritakan saja semua ini. Ampun aku sampaikan maaf berjulang sembah. Semoga luahan hati ini membawa berkah. (Amran, Pimpinan Umum Koran Perbatasan).